Sejarah asal usul Rencong, senjata orang Aceh yang tak segan-segan melawan senjata modern Belanda

Rencong Sebagai Senjata Tradisional Aceh

SELAIN dikenal berjuluk Negeri Serambi Mekkah, Aceh juga tersohor sebagai Bumi Rencong.
Julukan itu populer lantaran rencong merupakan senjata khas sekaligus simbol dan lambang perjuangan Aceh.

Di dalam sejarah Aceh, belum ada catatan secara pasti asal-usulnya. Meski begitu, kehadiran rencong di masa lalu terekam dan terwarisi melalui cerita tutur turun-temurun.

Legenda rencong di masyarakat Aceh bermula saat seekor burung raksasa sakti (Geureuda berarti rakus) kerap meneror kehidupan masyarakat.

Ia tak hanya memakan tanaman dan buah-buahan saja, tetapi juga hewan ternak. Masyarakat pun berang. Cerita itu sampai di telinga raja.

Rencong Senjata Tradisional Aceh
Rencong

Sang Raja ikut geram. Pelbagai siasat dan jebakan dilakukan untuk menangkap burung raksasa itu. Namun, upaya itu selalu gagal.

Sang burung pembuat onar malah makin menggila. Ia justru tambah gencar melakukan aksi terornya. Penduduk Aceh ketakutan. Mereka tidak berani melakukan aktivitas di ruang terbuka.

Sang Raja akhirnya mengambil tindakan. Ia meminta seorang pandai besi berilmu makrifat membuat senjata ampuh agar bisa membunuh Geureuda.

Ritual pun dijalani. Si pandai besi melakukan puasa, salat sunat, serta berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.

Usai melakukan tirakat, si pandai besi akhirnya membuat sebilah senjata serupa pedang kecil menyerupai tulisan bismillah dalam aksara Arab.

Tak disangka, senjata kelak bernama Rencong tersebut mampu membuat burung pembuat onar tewas.

Kisah Rencong era kerajaan Aceh

Meski tak banyak data menjelaskan sejarah rencong, namun catatan tertua mengenai keberadaan senjata tersebut menunjukkan bermula pada masa Kesultanan Aceh ke-10 (1589-1604), Sultan Alauddin Riayat Syah.

Impian terakhir Sang Sultan sebelum wafat, ingin memiliki senjata khas lagi andal untuk ditampilkan.
Impian pun tetap menjadi impian. Sultan tak sempat melihat Rencong sepanjang hayatnya.

Cita-cita tersebut baru terealisasikan pada masa Kesultanan Aceh di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Sang Sultan meminta pandai besi untuk membuat sebilah senjata dengan bentuk mengandung unsur tanah Aceh dan Islam.

Teuku Iskandar dalam De Hikajat Atjeh mengatakan, berdasarkan geografi Aceh yang masuk dalam Pulau Sumatera dengan belahan gunung Seulawah dan Bukit Barisan, tersalinkan kalimat Bismillahir Rahmanir Rahiem.

Maka, tulis Iskandar, terbentuklah sebuah senjata dengan unsur bumi Aceh juga Islam. "Senjata itu hasil rujukan para panglima dan ulama pada saat itu," tulis Iskandar.

Adapun penyebutan rencong berawal dari kata Runcing, kemudian diubah menjadi Rincung, dan terakhir menjadi Rintjong atau Rencong. Pada zaman kerajaan pula, rencong tak hanya dipakai raja, tapi juga para pejuang untuk mengusir penjajahan kolonial Belanda dan Portugis.

Seperti dikutip kompas.com, 20 Oktober 2017, Ketua Laboratorium Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Husaini Ibrahim mengatakan, pada saat itu rencong tak lagi menjadi kebesaran istana. Namun, juga menjadi senjata pria dewasa Aceh yang tersampir di pinggang.

Sejak saat itu, kata Husaini, kolonial Belanda mencap masyarakat Aceh dengan sebutan sarkas, Aceh Pungoe (Aceh Gila). Masyarakat Aceh tak segan-segan melawan senjata lengkap modern Belanda hanya dengan sebilah rencong. "Karena itu, Belanda melarang rakyat bawa rencong. Kalau ditangkap, dampaknya bisa bahaya sekali," kata Husaini.

Meski senjata itu menjadi umum bagi masyarakat Aceh, tapi perbedaan rencong rakyat biasa dengan para pembesar kesultanan tetap ada. Yakni dari bahan bakunya.

Rakyat umumnya menggunakan bahan besi biasa. Namun, para pembesar kesultanan menggunakan gading gajah pada gagangnya, bahkan tak sedikit yang dibalur emas. "Ada juga dari tembaga, perak, dan lain sebagainya. Ini menunjukkan prestise identitas pengguna," katanya.

Sementara soal fungsi, tutur Husaini, tetap berguna untuk melumpuhkan lawan. "Misalnya rencong yang mencungnek, itu agar mudah mencabut rencong ketika telah ditikam ke lawan. Semua jenis itu tujuannya agar mudah digunakan saja. Tak ada tujuan lain," katanya. (*)