Kisah Ajaib Masjid Guci Rumpong di Pidie Aceh

H Muhammad Yusuf Ishak berjalan pelan menuju Masjid Guci Rumpong yang berdiri di Kecamatan Peukan Baro, Kabupaten Pidie, Aceh, Kamis, 8 Juni 2017. Tangan pria berusia 70 tahun yang tampak keriput itu menunjuk masjid tersebut.

Kisah Ajaib Masjid Guci Rumpong di Pidie Aceh

"Tanah di sini dulunya sungai. Ketika Teungku Chik Dipasie hendak membangun masjid, beliau hanya mengangkat tongkatnya dari sungai. Kemudian, sungai pun berubah menjadi gundukan tanah," kata Yusuf Ishak.

Masjid Guci Rumpong memang salah satu masjid keramat di Aceh. Masjid ini dibangun oleh Teungku Chik Dipasie pada masa Kesultanan Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaannya, sekitar abad ke 16 M. Namun sampai saat ini masjid tersebut masih berdiri kokoh.

Tak mengherankan jika masjid ini cukup dikenal di Aceh. Bahkan, Sultan Iskandar Muda, sultan ketika itu, pernah berguru ke sana. Awalnya, Masjid Guci Rumpong hanya seluas 12x12 meter persegi. Namun, kini sudah diperluas beberapa meter di bagian teras depan masjid.


Sejak pembangunannya ratusan tahun silam, masjid itu baru sekali direhab pada 2015. Perbaikan itu pun tak banyak mengubah bentuk bangunan aslinya. Misal, atap masjid yang dulunya hanya anyaman daun rumbia kini diganti genteng. Pembaruan juga tampak di dinding masjid, dulu dinding berupa anyaman daun kelapa, kini telah dipasang papan bermotif ukiran.

Bersebelahan dengan masjid tua, telah dibangun sebuah masjid baru. Pembangunannya dimulai tahun 1987 M. "Meskipun masjid baru telah dibangun, tetapi pelaksaan salat sehari-hari masih di masjid pertama," kata Yusuf Ishak.

Yusuf mengatakan bahwa masjid baru tersebut hanya digunakan saat salat Jumat. "Hal itu dilakukan karena masjid pertama tidak mampu menampung jemaah salat Jumat yang banyak," lanjutnya. Selebihnya, pintu masjid baru seakan terkunci.

Batu Siprok dan Dua Guci


batu siprok

Selain bangunan masjid, Teungku Chik Dipasie juga meninggalkan beberapa benda bersejarah lain. Konon, benda-benda itu 'hidup' di masanya. Misalnya Batu Siprok dan dua buah guci.

Batu Siprok kini diletakkan di bagian depan masjid, persisnya di samping tangga pintu utama. Batu itu dikurung dalam kerangkeng. "Batu ini agak menyerupai batu karang. Dikurung di kerangkeng karena menghindari agar tidak diambil orang," ujar Yusuf.

Yusuf melanjutkan kisahnya. Ia mengatakan bahwa batu siprok digunakan warga untuk sumpah dan melepas nazar. "Kalau ada orang yang hendak bersumpah, orang itu harus mencuci kepala dan airnya ditumpahkan di atas batu ini," terangnya sambil menunjuk ke arah batu Siprok.

Akibat dari sumpah itu, kata Yusuf, orang yang bersalah akan mengalami penyakit aneh. Misalnya warna kulit sekujur tubuhnya berubah menjadi belang-belang. "Saya sudah melihat sendiri, bahwa ini nyata," kata Yusuf.

Tidak jauh dari Batu Siprok, terdapat dua buah guci tua. Keduanya diletakkan dalam sebuah bangunan yang terkunci. Salah satu dari guci tersebut pecah di bagian mulutnya. Kelak, dari sanalah mulanya dinamakan Masjid Guci Rumpong dan Desa Guci Rumpong. Dalam Bahasa Aceh, rumpong berarti pecah.
Guci pecah tersebut rupanya punya cerita. Konon, ada tiga guci hendak pergi ke mesjid itu, namun karena saling berebutan ingin cepat sampai, dua buah guci berkelahi. Sedangkan satunya lagi tinggal di Masjid Teungku Dipucok Krueng, Beuracan, Meureudu, Pidie Jaya.

Akibat berkelahi, kedua guci saling berantuk dan salah satunya pecah di bagian mulut. "Nah, pecah guci inilah disebut Rumpong. Bahasa Aceh, pecah artinya rumpong," jelas Yusuf. Dua guci itu telah berusia ratusan tahun. "Menurut riwayat, guci ini berasal dari Cina."

Selain itu, di bagian dalam masjid terdapat sebatang bambu berfungsi untuk muadzin naik ke atas masjid guna melantunkan azan. Bambu tersebut dinamakan Purieh. Usianya 282 tahun. Semua masjid tua di Aceh memiliki Purieh ini.

Siapa Teungku Chik Dipasie?


Teungku Chik Dipasie seorang ulama besar Aceh. Bernama asli Abdus Salam bin Burhanuddin. Ia lahir di Gigieng, lebih kurang 20 km sebelah timur Kota Sigli. Ayahnya, Tuan Syarif Burhanuddin, berdarah campuran Kurdi dan Turki, adalah seorang ulama besar Kesultanan Aceh.

Sejak umur 15 – 35 tahun, Teungku Chik Dipasie bermukim di Mekkah memperdalam pengetahuan kaligrafi, jurnalistik, seni sastra, tafsir Al-Qur’an, dan hadits. Karya seninya yang sangat dikenal adalah Alquran tulisan tangan. Warga menyebutnya Seureubek, juga kerap digunakan untuk sumpah.

Teungku Chik Dipasie menghabiskan sisa hidupnya di Desa Waido, Kecamatan Peukan Baro, Pidie. Di rumah yang ditempatinya dulu, di sanalah kini sang pengurus masjid yang juga keturunan ke sembilan, H Muhammad Yusuf Ishak tinggal.

Teungku Chiek Dipasie wafat di Waido. Tetapi makamnya terletak di Desa Ie Leubeu, Kecamatan Kembang Tanjong Pidie. Jarak dari masjid sekitar 40km.

Kenapa dimakamkan begitu jauh? Ternyata sebelum meninggal, Teungku Chik Dipasie pernah berpesan sambil melemparkan sebuah tongkat. "Di mana jatuh tongkat saya ini, di situlah makam saya," ujar Yusuf meniru ucapan Teungku Chik Dipasie.

Kemudian diketahui tongkatnya jatuh di Ie Leubeu. Maka oleh karena itu makamnya terletak begitu jauh dari tempat beliau menghabiskan sisa hidup.

Kisah ajaib lain dari Teungku Chik Dipasie yang beredar di masyarakat Aceh adalah tentang irigasi. Saat itu, dengan tongkatnya, menggoreskan garis di tanah seraya berdoa.

Ajaibnya, goresan tanah dari tongkat itu kemudian menjadi irigasi. Goresan itu berawal dari Bukit Barisan dan melintasi kecamatan - kecamatan di Pidie. Di antaranya Keumala, Kota Bakti, Mutiara, Indrajaya, Kembang Tanjung, dan Simpang Tiga. Panjangnya mencapai 23 km.

Yusuf mengatakan bahwa tongkat yang digunakan Teungku Chik Dipasie untuk menggores tanah itulah yang kemudian dilempar Teungku Chik Dipasie ke Ie Leubeu, tempat ia dimakamkan.

"Hingga sekarang, irigasi bernama Lueng Bintang ini masih berfungsi untuk pengairan persawahan warga," tutup Yusuf sambil beranjak ke tempat wudu begitu azan asar berkumandang dari dalam masjid.


sumber: www.rappler.com