Iskandar Muda Memancung Anaknya Sendiri, Bukti Tegasnya Penegakan Hukum Aceh Tempo Dulu

Sekitar tahun 1629 Masehi, dimasa Sultan Iskandar Muda masih menjabat, terdapat peristiwa heboh sekaligus bukti tegasnya peraturan kerajaan Aceh pada masa silam. Peristiwa itu dikenal dengan tragedi Meurah Pupok yang diambil langsung dari nama putra mahkota yang berjuluk: Seri Sultan Perkasa Alam Johan Berdaulat.

Iskandar Muda Memancung Anaknya Sendiri

Pencapaiaanya yang sukses menaklukkan banyak wilayah, membawa Aceh dikenal diberbagai plosok dunia khususnya pada tahun 1607-1636 Masehi ternyata tak mampu melepasnya dari jerat hukum yang ditegakkan oleh Sultan Iskandar Muda selaku ayah tercintanya.

Sesaat akan memenggal kepala anaknya dihadapan dewan hakim dan masyarakat, Sultan Iskandar Muda berkata; “Mate aneuk meupat jrat, mate adat pat tamita” (Mati anak jelas kuburannya, mati adat dimana kita mencarinya).

Itulah yang disampaikan Sultan Iskandar Muda sebagai tindak lanjut dari hukuman kepada sang anak yang divonis dan terbukti melakukan perbuatan mesum bersama istri pejabat istana.

Sebelumnya, Para pejabat dan petinggi istana berusaha membujuk dan memperingatkan Sultan Iskandar Muda, mereka menyarankan keringanan hukuman agar putra mahkota diampuni, minimal tidak dihukum mati.

Akan tetapi Sultan Iskandar dengan segenap rasa malunya terhadap Tuhan dan rakyat Aceh tetap degan prinsipnya dan mengatakan; “Kalau rakyat dirajam, anak saya harus dipancung!”

Inilah salah satu bukti, betapa tegas dan adilnya Sultan Iskandar Muda dalam menegakkan hukum dimata Tuhan, agama, dan rakyat Aceh. Mengindikasikan bahwa hukum pada masa itu tidak pandang bulu, justru anggota kerajaan harus merasakan ganjaran yang lebih berat sebagai panutan masyarakat.

Begitu tegasnya hukum di Aceh pada masa sila, tidak heran mengapa Aceh sempat berada di puncak kejayaan.  sumber