Hubungan Rasulullah Dengan Aceh, Inilah Bukti Bahwa Rasulullah SAW Pernah Menyebut Nama Aceh
Segala puji bagi Allah yang telah menghendaki segala sesuatu terhadap Nabi Muhammad SAW, baik segala keajaiban yang diturunkan oleh-Nya dimasa hidup Rasulullah ataupun hal yang akan terjadi. Inilah salah satu mukjizat dari ratusan mukjizat Nabi kita Muhammad SAW. Terkadang ada mukjizat yang Allah turunkan untuk nabi hanya untuk disaksikan para umat yang hidup dimasa beliau ataupun mukjizat beliau yang dapat dirasakan oleh umat setelahnya, salah satu dari mukjizat ini adalah kepengetahuan Nabi akan masa depan. Tentunya banyak riwayat yang mendukung mukjizat ini sebagai bukti kenabian beliau, baik persaksian yang tertulis didalam al-Qur'an ataupun para sahabat-sahabat beliau.
Namun perlu diketahui bahwa sebenarnya nabi pernah menyebutkan nama satu wilayah yang kedepan wilayah ini akan menjadi negara islam dan akan banyak memunculkan para ulama dan wali-wali Allah SWT. Nama wilayah ini dalam sebuah hadist nabi yang sampai saat ini belum diketahui sanad dan perawinya adalah "Negri diatas angin" atau disebut "Aceh". Adapun kebenaran berita ini tentunya harus kita teliti lebih mendalam lagi, apalagi siapa dan kapan hadist ini muncul pertama kali tentunya harus diteleti kembali.
Akan tetapi walaupun pada kenyataan bahwa hadist nabi mengenai Aceh tersebut masih belum dijadikan istidlal hukum namun dari beberapa riwayat cerita dan pendapat beliau-beliau mengenai apakah aceh ini benar pernah disebut-sebut oleh Nabi sebagai negri diatas angin menjadi pendukung barang bukti bagi hadist nabi tersebut menjadi hal yang harus kita terima. Karena sesungguhnya pun para ulama dan wali Allah adalah orang-orang yang wajib kita percayai. Dibawah ini akan dijelaskan sedikit bukti-bukti pendukung bahwa Aceh memang pernah disebutkan oleh Nabi sebagai negri para wali Allah.
Yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah, apakah hadist ini betul adanya atau memang hanya sebuah kalimat warisan turun temurun dari nenek moyang bangsa melayu ?
Membuktikan keberadaan hadist ini dapat dubuktikan melalui beberapa bukti yang ada terdapat dibawah ini :
Rasulullah SAW, pernah bersabda :
“…Pada zaman Nabi Muhammad Rasul Allah salla’llahu ‘alaihi wassalama tatkala lagi hajat hadhrat yang maha mulia itu, maka sabda ia pada sahabat baginda di Mekkah, demikian sabda baginda Nabi: “Bahwa sepeninggalku ada sebuah negeri di atas angin samudera namanya. Apabila ada didengar khabar negeri itu maka kami suruh engkau (menyediakan) sebuah kapal membawa perkakas dan kamu bawa orang dalam negeri (itu) masuk Islam serta mengucapkan dua kalimah syahadat. Syahdan, (lagi) akan dijadikan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam negeri itu terbanyak daripada segala Wali Allah jadi dalam negeri itu“….
Pertama : Status Hadist Dalam Beberapa Hikayat Lama Aceh
Di beberapa riwayat kitab dan menurut pendapat ahli sejarawan, termasuk salah seorang ahli sejarawan berkebangsaan indonesia yang tinggal di malaysia, bernama Prof. Dr. Muhammad Syed Naquib al-Attas di buku terbarunya “Historical Fact and Fiction” menyebutkan bahwa keberadaan hadist nabi tentang aceh tersebut betul adanya. Beliau menemukan hadist ini dari beberapa naskah lama kerajaan aceh dan malaysia yang juga pernah tertuliskan hadist ini didalamnya. selain itu akuan keberadaan hadist ini juga disebutkan dibeberapa buku karya sejarah melayu.
Kedua : Bukti Melalui Sejarah
Menurut para ahli sejarah melayu mengatakan, bahwa hadist yang dimaksudkan oleh Nabi ini tertuju kemasa kerajaan Samudra Pasai. Kerajaan Samudra Pasai ini berdiri setelah 600 tahun nabi meninggal dunia. Namun ahli sjearawan berbeda pendapat, bahwa aceh sudah dikenal sejak paertama kali islam mulai masuk ke aceh pada abad ke 7. Menurut riwayat bahwa Masa sahabat Umar bin Khattab, penyebaran islam keseluruh dunia sudah dimulai, hingga masuk ke jalur ujung sumatra, yaitu Aceh. Pendapat ini didapat dari buku Aceh Sepanjang Abad, karya M. Said.
Bukti lain dapat dilihat dari salah seorang ulama yang bernama Syeikh Rukunuddin di Barus (Fansur) adalah salah seorang sahabat Nabi yang telah lama tinggal di sumatra atau aceh.
Bukti sejarah lain juga dapat dilihat dari perkembangan islam yang telah menyebar ke beberapa wilayah dimana rasulullah baru saja meninggal. seperti contohnya sahabat Rasulullah yang bernama Sa'ad bin Abi Waqash, yang ditugaskan oleh nabi untuk menyebarkan islam kebeberapa wilayah. Namun dimasa Rasulullah wafat beliau terus menyebarkan islam keseluruh tanah arabia hingga cina dan meninggal disana. Pergerakan penyebaran islam ini sama artinya bahwa islam bukan hanya turun ke cina namun ke beberapa tempat yang menjadi jalur perjalanan sahabat Sa'ad bin Abi Waqash untk ke cina. Maka dapat disimpulkan aceh disaat itu juga menjadi arah jalan penyebaran islam.
Ketiga : Bukti secara Geografis
Masyarakat Quraish dimasa itu tidak hanya berhubungan politik dan ekonomi dengan beberapa suku atau wilayah disekitarnya, namun mereka juga berhubungan dengan bangsa lain, baik persia dimasa itu atapun cina. hal ini dapat dibuktikan saat Hindun (Istri dari paman Nabi Muhammad, Abu Sufyan) pernah membeli sehelai kain dari tenunan bangsa cina.
Sepertimana yang telah dijelaskan diatas bahwa dimasa khalifah rasyidin berdiri sahabat Sa'ad bin Abi Waqash telah menyebarkan islam ke cina. Untuk menuju kesini beliau dan beberapa sahabat setelahnya membutuhkan jalur perjalanan dekat untuk menuju kesana. Salah satunya adalah melalui jalur laut, jalur laut ini menjadi arah paling mudah untuk dituju. Karena melalui darat tentu berbagai macam rintangan seperti melalui padang pasir dan bahan-bahan makanan serta minuman yang dibutuhkan juga banyak dibutuhkan, oleh karenanya dahulu orang arab menyebarkan islam melalui jalur laut.
Secara Geografis, peta cina berada di ujung sebelah kanan tanah arab, maka untuk menuju kesana harus melalui laut, dan melalui laut tentu harus melewati beberapa tempat persinggahan, yaitu india dan ujung sumatra. Maka dapat dipastikan Sa'ad bin Abi Waqash tidaklah sendiri ia membuat perjalanan ini namun beliau membawa para sahabat dan umat islam lainnya, sudah barang pasti persinggahan untuk menuju ke cina salah satunya adalah Ujung Sumatra, atau Aceh. Untuk itu islam secara tidak langsung juga sudah mulai masuk di aceh.
Keempat : Hikayat dari Para Ulama dan Wali
salah satu bukti bahwa hadist tersebut betul ada adalah melalui cerita atau hikayat para ulama dan wali-wali Allah SWT. Kita tentunya wajib mempercayai hikayat ini karena memang pada hakikatnya melawan ulama dan para wali adalah perbuatan dosa, karena mereka adalah hamba-hamab Allah yang dijaga oleh-Nya. Salah satu cerita yang pernah penulis dengar adalah sebuah hikayat yang pernah diceritakan oleh seorang wali Allah yang tidak boleh disebutkan namanya. Beliau adalah salah seorang wali Aceh. Kisah ini saya dapatkan dari cerita seorang anak alm. Abuya Jamaluddin Waly, bahwa beliau pernah berjumpa dengan wali Allah ini, Wali Allah tersebut bercerita :
"Bahwa dahulu Nabi SAW saat berjalan menuju ke Baitul Maqdis dalam Isra Miraj-nya, beliau mengendarai Buraq ditemani oleh Malaikat Jibril untuk keliling dunia (Dalam sejarah hanya dijelaskan bahwa nabi langsung menuju ke Baitul Maqdis). Saat nabi keliling dunia tersebut itulah nabi melihat ada satu cahaya yang terus terbit dari salah satu wilayah di dunia, cahaya ini timbul dari ujung Sumatra, yaitu Aceh. Saat itulah nabi meminta turun kepada jibril untuk melihat keindahan cahaya tersebut, dan nabi pun turun kesana untuk melihat. Lalu rasulullah bertanya kepada jibril "Mengapakah tempat ini bercahaya, wahai Jibril ?", Jibril menjawab " Ini adalah wilayah islam yang suatu saaat nanti Allah akan memunculkan dari kalangan umatmu banyak para wali Allah dan Ulama-ulama besar". lalu nabi pun berangkat kembali untuk menuju ke baitul maqdis. Beliau tidak pernah turun ketempat lain saat perjalanan ini terjadi kecuali hanyalah tempat bercahaya tersebut. "Jika engkau (untuk Amri Jamaluddin Waly, yang mempunyai cerita ini) ingin mengetahui bukti secajarah ini maka ziarahlah ke 8 wali di seluruh aceh maka engkau pasti akan menemukannya".
Inilah cerita yang penulis dapatkan. Karena kejadian inilah yang menjadi asbabul wurud (sebab hadirnya) haidts nabi mengenai Aceh.
Kisah ini diakui oleh beberapa ulama Aceh, termasuk Abuya Prof. Dr. Tgk. H. Muhibbuddin Waly, Abu Muhammad Amin Blang Blahdeh, Abu Ibrahim Woyla, dan beberapa pengakuan ulama dan wali Allah lainnya.
Kelima : Banyak Kerabat Nabi SAW di Aceh
Abu Ibrahim WoylaIni adalah bukti selanjutnya, bahwa di aceh sejak masa kerajaan dulu kala hingga masih banyak keturunan dan kerabat saudara dari Rasulullah SAW. Salah satunya adalah Abuya Muda Waly, banyak riwayat mengatakan bahwa silsilah beliau berasal dari Sahabat Abu Bakar As-Siddiq. Hal ini pernah diungkapkan oleh seorang wali Allah Aceh yang juga murid Abuya Muda Waly, beliau adala Abu Ibrahim Woyla. Beliau (Abu Ibrahim) pernah bercertia saat beliau berkunjung ke Meulaboh untuk melihat salah satu qur'an ajaib disana, saat itu beliau bertutur bahwa "Jangan pernah bermain-main dengan Abu Muda Waly karena beliau adalah keturunan Abu Bakar As-Shiddiq". bukti bahwa Abu Muda Waly adalah kerabat nabi bukan hanya berasala dari riwayat Abu Ibrahim Woyla namun para ulama dan wali Allah lainnya juga mengakuinya, termasuk Wali Allah Abu Qasim Kajhu sependapat dengan ini. Dan juga wali Allah yang tidak disebutkan namanya diatas tadi, beliau juga menyebutkan hal yang sama.
Abuya Muda Waly Menurut penelitian pakar sejarah dan ahli nasab di Aceh, ahlul bayt atau keturunan Nabi saw angkatan pertama yang tiba di Asia Tenggara, tepatnya di Aceh-Sumatra adalah Abdullah bin Hasan Mutsanna bin Hasan bin Ali atau cicit Nabi Muhammad saw. Beliau hijrah ke kepulauan Nusantara ini setelah singgah dan menetap di pelabuhan Chambia (Kambei) India untuk mengembangkan misi perjuangan keluarga Rasulullah saw. Sejarah tidak mencatat, apakah beliau meninggal di wilayah ini atau kembali ke tanah Arab.
Nama Abdullah disebut dalam ikhtisar Radja Jeumpa oleh Ibrahim Abduh yang disadurnya dari Hikayat Radja Jeumpa. Tersebutlah sebelum kedatangan Islam di daerah Jeumpa sudah berdiri salah satu Kerajaan Hindu Purba Aceh yang dipimpin turun temurun oleh seorang Meurah. Tibalah seorang saudagar muslim keturunan Arab bernama Abdullah di sana pada awal abad ke 8 Masehi. Selanjutnya Abdullah tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima Islam karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan dan sangat ramah. Dia dinikahkan dengan putri Raja bernama Ratna Kumala. Akhirnya Abdullah dinobatkan menjadi Raja menggantikan bapak mertuanya. Dan masih banyak lagi.
Keenam : Persahabatan antara Aceh dan Arab
Semenjak tersebarnya islam di aceh yang dimulai pada abad ke-7 hingga akhir masa kerajaan pada tahun 1880-an, hubungan aceh dan arab sangatlah erat. Tidak hanya sisi ekonomi namun dalam hal agama jugalah menjadi patokan penting untuk saling berkomunikasi dan meminta pendapat antar kedua negara tersebut. Hal ini dapat dibuktikan di salah satu wilayah masjidil haram terdapat harta tanah waqaf yang disumbagkan oleh aceh untuk perluasan masjidil haram. Salah satunya terletak di daerah Qusyasyiah bertepatan dengan bab al-Fath Masjidil Haram, Lokasi ini berada seperti hotel Ajyad (Funduk Ajyad) bertingkat 25 dan Menara Ajyad (Burj Ajyad) bertingkat 28 yang berjarak sekitar 500-600 meter dari Masjidil Haram. Kedua hotel tersebut mampu menampung lebih dari 7.000 jamaah yang dilengkapi dengan infrastruktur lengkap. Wakaf tersebut semakin bertambah dengan pembelian beberapa aset lagi. Hasil sumbangan, sedekah, dan infak hujjaj Aceh diwakafkan dalam bentuk tanah dan rumah di seputar Masjidil Haram tersebut yang dikoordinir oleh Habib Bugak sekitar tahun 1224 H/ 1809 M.
Sebagian berpendapat bahwa nama asli Habib Bugak adalah Habib Abdurrahman bin Alwi al-Habsyi dari Monklayu. Sebagian lagi menyebut ia berasal dari daerah Bugak di Aceh Timur, Bireuen atau Pidie. Sulitnya informasi tersebut diakibatkan tidak ada bukti tertulis secara komprehensif. Melalui lembaran sarakata (surat Sultan) Aceh yang saya peroleh, tertera stempel kesultanan yang menunjukkan originalitasnya. Disebutkan bahwa ia bernama Sayyid ‘Abdurrahman bin ‘Alwi Peusangan, yang diberi kuasa pengelolaan tanah di wilayah Mutiara di sebelah barat Blang Pancang hingga Krueng Air sebelah timur dan hingga perbatasan Krueng Geukueh.
Ketujuh : Keturunan Bangsa Aceh di Arab Saudi
Hubungan yang cukup erat antara Arab dan Aceh dibuktikan juga dengan terdapatnya garis keturunan bangsa aceh yang sebahagiannya adalah keturunan nabi di sekitaran masjidil arab dan dibeberapa wilayah arab lainnya. Salah satu contohnya seperti Syeik Abdul Ghani Asyi yang pernah menjabat sebagai ketua Bulan Sabit Merah Timur Tengah, kemudian Alm. Dr. Jalal Asyi, mantan ketua mentri kesehatan Arab Saudi, DR. Ahmad Asyi, ia pernah menjabat sebagai Mentri Haji dan Waqaf dan beberapa orang lainnya. yang disebutkan ini adalah sebahagiannya saja dan hanya orang-orang yang berada di pemerintahan, namun keturunan lainnya masih banyak terdapat di beberapa wilayah timur tengah sana yang tidak kita ketahui.
Diriwayatkan bahwa pada tahun 1672 M, Syarif Barakat penguasa Mekkah pada akhir abad ke 17 mengirim duta besarnya ke timur. Mencari sumbangan untuk pemeliharaan Masjidil Haram. Karena kondisi Arab pada saat itu masih dalam keadaan miskin. Kedatangan mareka ke Aceh setelah Raja Moghol, Aurangzeb (1658-1707) tidak mampu memenuhi keinginan Syarif Barakat itu. Dia saat itu belum sanggup memberi sumbangan seperti biasanya ke Mesjidil Haram. Setelah empat tahun rombongan Mekkah ini terkatung katung di Delhi India. Atas nasehat pembesar di sana, rombongan ini berangkat ke Aceh dan tiba di Aceh pada tahun 1092 H (1681M). Sampai di Aceh, duta besar Mekkah ini disambut dan dilayani dengan baik dan hormat oleh Sri Ratu Zakiatuddin Inayatsyah (1678-1688 M). Di luar dugaan, kedatangan utusan syarif Mekkah ini menyulut semangat kelompok wujudiyah yang anti pemerintahan perempuan. Namun, karena sosok Sultanah Zakiatuddin yang ‘alim dan mampu berbahasa Arab dengan lancar. Bahkan menurut sejarah, dia berbicara dengan para tamu ini dengan menggunakan tabir dari sutra Dewangga (Jamil: 1968).
Utusan Arab sangat gembira diterima oleh Sri Ratu Zakiatuddin, karena mareka tidak mendapat pelayanan serupa ketika di New Delhi, India. Bahkan empat tahun mareka di India, tidak dapat bertemu Aurangzeb. Ketika mereka pulang ke Mekkah, Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, memberi mareka tanda mata untuk rombongan dan Syarif Mekkah juga sumbangan untuk Mesjidil Haram dan dan Mesjidil Nabawi di Madinah terdiri dari: tiga kinthar mas murni, tiga rathal kamfer, kayu cendana dan civet (jeuebeuet musang), tiga gulyun (alat penghisap tembakau) dari emas, dua lampu kaki (panyot-dong) dari emas, lima lampu gantung dari emas untuk Masjidil Haram, lampu kaki dan kandil dari emas untuk Masjid Nabawi.
Pada tahun 1094 (1683 M) mareka kembali ke Mekkah dan sampai di Mekkah pada bulan Sya’ban 1094 H (September 1683 M). Dua orang bersaudara dari rombongan duta besar Mekkah ini yakni Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim, tetap menetap di Aceh atas permintaan para pembesar negeri Aceh yang dalam anti raja perempuan (Jamil: 1968). Mereka dibujuk untuk tetap tinggal di Aceh sebagai orang terhormat dan memberi pelajaran agama dan salah satu dari mereka, kawin dengan Kamalat Syah, adik Zakiatuddin Syah. Lima tahun kemudian setelah duta besar Mekkah kembali ke Hijaz dengan meninggalkan Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim di Aceh, Sultanah Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah wafat tepat pada hari Ahad 8 Zulhijjah 1098H (3 Oktober 1688 M). Pemerintahan Aceh digantikan oleh adiknya yaitu Seri Ratu Kamalatsyah yang bergelar juga Putroe Punti. Dia diangkat menjadi Ratu pemerintahan kerajaan Aceh atas saran Syeikh Abdurrauf Al Fansury yang bertindak pada saat itu sebagai Waliyul-Mulki (Wali para Raja).
Baru setelah meninggalnya Syeikh Abdurrauf pada malam senin 23 Syawal 1106 H (1695M), konflik mengenai kedudukan pemerintahan Aceh dibawah pemerintahan ratu yang telah berlangsung 54 tahun sejak Safiatuddin Syah(1641-1675M), terguncang kembali. Hal ini dipicu oleh fatwa dari Qadhi Mekkah tiba. Menurut sejarah, “fatwa import” ini tiba dengan “jasa baik” dari golongan oposisi ratu. Lalu pemerintah Aceh, diserahkan kepada penguasa yang berdarah Arab, yaitu salah satu dua utusan Syarif dari Mekkah, yakni suami Ratu Kemalatsyah, Syarif Hasyim menjadi raja pada hari Rabu 20 Rabi`ul Akhir 1109 H (1699M). Menurut sejarah, Ratu tersebut dimakzulkan akibat dari “fatwa import” tersebut. Lalu kerajaan Aceh memiliki seorang pemimpin yang bergelar Sultan Jamalul Alam Syarif Hasyim Jamalullail (1110-1113 H/1699-1702M). dengan berkuasanya Syarif Hasyim awal dari dinasti Arab menguasai Aceh sampai dengan tahun 1728 M. Inilah bukti sejarah bahwa kekuasaan para Ratu di Aceh yang telah berlangsung 59 tahun hilang setelah adanya campur tangan pihak Mekkah, paska para ratu ini menyumbang emas ke sana. Aceh yang dipimpin oleh perempuan selama 59 tahun bisa jadi bukti bagaimana sebenarnya tingkatemansipasi perempuan Aceh saat itu (Azyumardi Azra, 1999).
Terkait dengan sumbangan emas yang diberikan oleh Ratu kepada rombongan dari Mekkah, ternyata menjadi perbincangan dan perdebatan di Mekkah. Disebutkan bahwa sejarah ini tercatat dalam sejarah Mekkah dimana disebutkan bahwa emas dan kiriman Sultanah Aceh tiba di Mekkah di bulan Syakban 1094 H/1683 M dan pada saat itu Syarif Barakat telah meninggal. Pemerintahan Mekkah digantikan oleh anaknya Syarif Sa’id Barakat (1682-1684 M).
Snouck Hurgronje, menuturkan “Pengiriman Seorang Duta Mekkah ke Aceh Pada Tahun 1683” sempat kagum terhadap kehebatan Aceh masa lalu dan dicatat dalam bukunya, dimana sewaktu dia tiba di Mekkah pada tahun 1883. Karena Kedermawaan Bangsa dan Kerajaan Aceh masa itu, Masyarakat Mekkahmenyebut Aceh Sebagai "Serambi Mekkah" di sana. Ternyata sumbangan Kerajaan Aceh 200 tahun yang lalu masih selalu hangat dibicarakan disana. Menurutnya berdasarkan catatan sejarah Mekkah yang dipelajarinya barang barang hadiah itu sempat disimpan lama di rumah Syarif Muhammad Al Harits sebelum dibagikan kepada para Syarif yang berhak atas tiga perempat dari hadiah dan sedekah diberikan kepada kaum fakir miskin sedangkan sisanya diserahkan kepada Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Begitu juga tradisi wakaf orang Aceh di tanah Arab sebagai contoh tradisi wakaf umum, ialah wakaf habib Bugak Asyi yang datang ke hadapan Hakim Mahkmah Syariyah Mekkah pada tanggal 18 Rabiul Akhir tahun 1224 H. Di depan hakim dia menyatakan keinginannya untuk mewakafkan sepetak tanah dengan sebuah rumah dua tingkat di atasnya dengan syarat; rumah tersebut dijadikan tempat tinggal jemaah haji asal Aceh yang datang ke Mekkah untuk menunaikan haji dan juga untuk tempat tinggal orang asal Aceh yang menetap di Mekkah. Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Mekkah untuk naik haji maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal para pelajar (santri, mahasiswa) Jawi (nusantara) yang belajar di Mekkah. Sekiranya karena sesuatu sebab mahasiswa dari Nusantara pun tidak ada lagi yang belajar di Mekkah maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa Mekkah yang belajar di Masjid Haram. Sekiranya mereka ini pun tidak ada juga maka wakaf ini diserahkan kepada Imam Masjid Haram untuk membiayai kebutuhan Masjid Haram.
Menurut sejarah, sebenarnya bukan hanya wakaf habib Bugak yang ada di Mekkah, yang sekarang hasilnya sudah dapat dinikmati oleh para jamaaah haji dari Aceh tiap tahunnya lebih kurang 2000 rial per jamaah. Peninggalan Aceh di Mekkah bukan hanya sumbangan emas pada masa pemerintahan ratu ini juga harta harta wakaf yang masih wujud sampai saat ini seperti :
Wakaf Syeikh Habib Bugak Al Asyi',
Wakaf Syeikh Muhammad Saleh Asyi dan isterinya Syaikhah Asiah (sertifikat No. 324) di Qassasyiah,
Wakaf Sulaiman bin Abdullah Asyi di Suqullail (Pasar Seng),
Wakaf Muhammad Abid Asyi,
Wakaf Abdul Aziz bin Marzuki Asyi,
Wakaf Datuk Muhammad Abid Panyang Asyi di Mina,
Wakaf Aceh di jalan Suq Al Arab di Mina,
Wakaf Muhammad Saleh Asyi di Jumrah ula di Mina,
Rumah Wakaf di kawasan Baladi di Jeddah,
Rumah Wakaf di Taif,
Rumah Wakaf di kawasan Hayyi al-Hijrah Mekkah.
Rumah Wakaf di kawasan Hayyi Al-Raudhah, Mekkah,
Rumah Wakaf di kawasan Al Aziziyah, Mekkah.
Wakaf Aceh di Suqullail, Zugag Al Jabal, dikawasan Gazzah, yang belum diketahui pewakafnya.
Rumah wakaf Syech Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan) di Syamiah Mekkah,
Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga) di Syamiah, Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi di Syamiah dan Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi di Syamiah.
Inilah bukti bagaimana generous antara ibadah dan amal shaleh orang Aceh di Mekkah.Mereka lebih suka mewakafkan harta mereka, ketimbang dinikmati oleh keluarga mereka sendiri. Namun, melihat pengalaman Wakaf Habib Bugak, agaknya rakyat Aceh sudah bisa menikmati hasilnya sekarang.
Fenomena dan spirit ini memang masih sulit kita jumpai pada orang Aceh saat ini, karena tradisi wakaf tanah tidak lagi dominan sekali. Karena itu, saya menganggap bahwa tradisi leluhur orang Aceh yang banyak mewakafkan tanah di Arab Saudi perlu dijadikan sebagai contoh tauladan yang amat tinggi maknanya. Hal ini juga dipicu oleh kejujuran pengelolalaan wakaf di negeri ini, dimana semua harta wakaf masih tercatat rapi di Mahkamah Syariah Saudi Arabia.
Sebagai bukti bagaimana kejujuran pengelolaan wakaf di Arab Saudi, Pada tahun 2008 Mesjidil haram diperluas lagi kekawasan Syamiah dan Pasar Seng. Akibatnya ada 5 persil tanah wakaf orang Aceh terkena penggusuran. Tanah wakaf tersebut adalah kepunyaan Sulaiman bin Abdullah Asyi, Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan), Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga), Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi dan Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi. Di Mekkah juga penulis sempat bertemu dengan Saidah Taliah Mahmud Abdul Ghani Asyi serta Sayyid Husain seorang pengacara terkenal di Mekkah untuk mengurus pergantian tanah wakaf yang bersetifikat no 300 yang terletak di daerah Syamiah yang terkena pergusuran guna perluasan halaman utara Mesjidil haram Mekkah al Mukarramah yang terdaftar petak persil penggusuran no 608. Yang diwakafkan oleh Syech Abdurrahim Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan) dan adiknya Syech Abdussalam Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga).
Memang pada asalnya 75 persen tanah di sekitar Mesjidil Haram adalah tanah wakaf apakah itu wakaf khusus atau wakaf umum. Dan sebagiannya ada milik orang orang Aceh dulu dan ini bagian dari kejayaan Aceh yang pernah masuk dalam 5 besar negeri Islam di dunia bersama Turki, Morroko, Iran, Mughal India dan Aceh Darussalam di Asia tenggara. Menurut peraturan pemerintah Saudi Arabia para keluarga dan nadhir dapat menuntuk ganti rugi dengan membawa bukti kepemilikan (tentu memerlukan proses yang lama ie menelusuri siapa nadhir tanah wakaf tersebut, penunjukan pengacara dll) dan bisa menghadap pengadilan agama Mekkah menutut ganti rugi dan penggantian dikawasan lain di Mekkah sehingga tanah wakaf tersebut tidak hilang. Kalau seandainya tidak ada keluarga pewakaf lagi khusus untuk wakaf keluarga maka sesuai dengan ikrar wakaf akan beralih milik mesjidil haram atau baital mal. Inilah pelajaran atau hikmah tradisi wakaf di Mekkah yang semoga bisa menjadi contoh yang baik bagi pengelolaan wakaf di Aceh.
Mekkah Tempo Dulu
Itulah secuil catatan yang tercecer, tentang wakaf orang Aceh di Tanah Arab, walaupun generasi sekarang hanya mengenal bahwa Aceh adalah Serambi Mekkah. Namun sebenarnya ada rentetan sejarah yang menyebabkan Aceh memang pernah memberikan kontribusi penting terhadap pembinaan sejarah Islam di Timur Tengah. Karena itu, selain Aceh memproduksi Ulama, ternyata dari segi materi, rakyat Aceh juga memberikan sumbangan dan wakaf yang masih bisa ditelusuri hingga hari ini.
Karena itu, saya menduga kuat bahwa tradisi Islam memang telah dipraktikkan oleh orang Aceh saat itu, dimana “tangan di atas, lebih baik daripada tangan di bawah”. Akibatnya, kehormatan orang Aceh sangat disegani, baik oleh kawan maupun lawan. Dalam hal ini, harus diakui bahwa Snouck telah “berjasa” merekam beberapa akibat dari episode sejarah kehormatan orang Aceh.
Inilah pelajaran penting bagi peneliti sejarah Aceh, dimana selain bukti-bukti otentik, sejarah juga bisa ditulis melalui oral history (sejarah lisan). Pelajaran ini sangat penting bagi generasi sekarang untuk melacak dimana peran orang Aceh di beberapa negara, termasuk di Timur Tengah.
Inilah sekelumit hasil muhibbah saya ke Arab Saudi dan saya benar-benar terkesima dengan pengakuan identitas "Asyi" dan pola pengelolaan wakaf di Arab Saudi. Selain ini, di dalam perjalanan ini, saya sempat berpikir apakah nama baik orang Aceh di Arab Saudi bisa sederajat dengan nama baik Aceh di Indonesia dan di seluruh dunia. Yang menarik adalah hampir semua negara yang saya kunjungi, nama Aceh selalu dihormati dan dipandang sebagai bagian dari peradaban dunia.
Inilah beberapa bukti bahwa sebenarnya bahwa walaupun sanad hadist ini tidak disebutkan dari beberapa bukti diatas telah menunjukkan bahwa terdapat sisi kesinambungan bukti bahwa Rasullah pernah menyebutkan bahwa Aceh ini adalah negara islam dan tempat dimana banyak para wali dan ulama Allah muncul. Dan memang terbukti bahwa sekrang saja di aceh banyak para ulama yang muncul, mulai dari Hamzah fansuri, Syeikh Kuala hingga Abuya Muda Waly dan murid-muridnya hingga sekarang saat ini. Itulah sebabnya mengapa aceh disebut Serambi Mekkah, kerena jika ibarat Masjidil Haram, Kakbahnya adalah di Makkah maka teras menuju ke Kakbah adalah Acehnya.
Semoga tulisan ini dapat menjadi bahan referensi kita sebagai orang aceh yang selalu cinta kepada para wali Allah dan ulama-ulama-Nya juga negri tanah air ini.
Note :
Dari berbagai referensi
Namun perlu diketahui bahwa sebenarnya nabi pernah menyebutkan nama satu wilayah yang kedepan wilayah ini akan menjadi negara islam dan akan banyak memunculkan para ulama dan wali-wali Allah SWT. Nama wilayah ini dalam sebuah hadist nabi yang sampai saat ini belum diketahui sanad dan perawinya adalah "Negri diatas angin" atau disebut "Aceh". Adapun kebenaran berita ini tentunya harus kita teliti lebih mendalam lagi, apalagi siapa dan kapan hadist ini muncul pertama kali tentunya harus diteleti kembali.
Akan tetapi walaupun pada kenyataan bahwa hadist nabi mengenai Aceh tersebut masih belum dijadikan istidlal hukum namun dari beberapa riwayat cerita dan pendapat beliau-beliau mengenai apakah aceh ini benar pernah disebut-sebut oleh Nabi sebagai negri diatas angin menjadi pendukung barang bukti bagi hadist nabi tersebut menjadi hal yang harus kita terima. Karena sesungguhnya pun para ulama dan wali Allah adalah orang-orang yang wajib kita percayai. Dibawah ini akan dijelaskan sedikit bukti-bukti pendukung bahwa Aceh memang pernah disebutkan oleh Nabi sebagai negri para wali Allah.
Yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah, apakah hadist ini betul adanya atau memang hanya sebuah kalimat warisan turun temurun dari nenek moyang bangsa melayu ?
Membuktikan keberadaan hadist ini dapat dubuktikan melalui beberapa bukti yang ada terdapat dibawah ini :
Rasulullah SAW, pernah bersabda :
“…Pada zaman Nabi Muhammad Rasul Allah salla’llahu ‘alaihi wassalama tatkala lagi hajat hadhrat yang maha mulia itu, maka sabda ia pada sahabat baginda di Mekkah, demikian sabda baginda Nabi: “Bahwa sepeninggalku ada sebuah negeri di atas angin samudera namanya. Apabila ada didengar khabar negeri itu maka kami suruh engkau (menyediakan) sebuah kapal membawa perkakas dan kamu bawa orang dalam negeri (itu) masuk Islam serta mengucapkan dua kalimah syahadat. Syahdan, (lagi) akan dijadikan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam negeri itu terbanyak daripada segala Wali Allah jadi dalam negeri itu“….
Pertama : Status Hadist Dalam Beberapa Hikayat Lama Aceh
Di beberapa riwayat kitab dan menurut pendapat ahli sejarawan, termasuk salah seorang ahli sejarawan berkebangsaan indonesia yang tinggal di malaysia, bernama Prof. Dr. Muhammad Syed Naquib al-Attas di buku terbarunya “Historical Fact and Fiction” menyebutkan bahwa keberadaan hadist nabi tentang aceh tersebut betul adanya. Beliau menemukan hadist ini dari beberapa naskah lama kerajaan aceh dan malaysia yang juga pernah tertuliskan hadist ini didalamnya. selain itu akuan keberadaan hadist ini juga disebutkan dibeberapa buku karya sejarah melayu.
Kedua : Bukti Melalui Sejarah
Menurut para ahli sejarah melayu mengatakan, bahwa hadist yang dimaksudkan oleh Nabi ini tertuju kemasa kerajaan Samudra Pasai. Kerajaan Samudra Pasai ini berdiri setelah 600 tahun nabi meninggal dunia. Namun ahli sjearawan berbeda pendapat, bahwa aceh sudah dikenal sejak paertama kali islam mulai masuk ke aceh pada abad ke 7. Menurut riwayat bahwa Masa sahabat Umar bin Khattab, penyebaran islam keseluruh dunia sudah dimulai, hingga masuk ke jalur ujung sumatra, yaitu Aceh. Pendapat ini didapat dari buku Aceh Sepanjang Abad, karya M. Said.
Bukti lain dapat dilihat dari salah seorang ulama yang bernama Syeikh Rukunuddin di Barus (Fansur) adalah salah seorang sahabat Nabi yang telah lama tinggal di sumatra atau aceh.
Bukti sejarah lain juga dapat dilihat dari perkembangan islam yang telah menyebar ke beberapa wilayah dimana rasulullah baru saja meninggal. seperti contohnya sahabat Rasulullah yang bernama Sa'ad bin Abi Waqash, yang ditugaskan oleh nabi untuk menyebarkan islam kebeberapa wilayah. Namun dimasa Rasulullah wafat beliau terus menyebarkan islam keseluruh tanah arabia hingga cina dan meninggal disana. Pergerakan penyebaran islam ini sama artinya bahwa islam bukan hanya turun ke cina namun ke beberapa tempat yang menjadi jalur perjalanan sahabat Sa'ad bin Abi Waqash untk ke cina. Maka dapat disimpulkan aceh disaat itu juga menjadi arah jalan penyebaran islam.
Ketiga : Bukti secara Geografis
Masyarakat Quraish dimasa itu tidak hanya berhubungan politik dan ekonomi dengan beberapa suku atau wilayah disekitarnya, namun mereka juga berhubungan dengan bangsa lain, baik persia dimasa itu atapun cina. hal ini dapat dibuktikan saat Hindun (Istri dari paman Nabi Muhammad, Abu Sufyan) pernah membeli sehelai kain dari tenunan bangsa cina.
Sepertimana yang telah dijelaskan diatas bahwa dimasa khalifah rasyidin berdiri sahabat Sa'ad bin Abi Waqash telah menyebarkan islam ke cina. Untuk menuju kesini beliau dan beberapa sahabat setelahnya membutuhkan jalur perjalanan dekat untuk menuju kesana. Salah satunya adalah melalui jalur laut, jalur laut ini menjadi arah paling mudah untuk dituju. Karena melalui darat tentu berbagai macam rintangan seperti melalui padang pasir dan bahan-bahan makanan serta minuman yang dibutuhkan juga banyak dibutuhkan, oleh karenanya dahulu orang arab menyebarkan islam melalui jalur laut.
Secara Geografis, peta cina berada di ujung sebelah kanan tanah arab, maka untuk menuju kesana harus melalui laut, dan melalui laut tentu harus melewati beberapa tempat persinggahan, yaitu india dan ujung sumatra. Maka dapat dipastikan Sa'ad bin Abi Waqash tidaklah sendiri ia membuat perjalanan ini namun beliau membawa para sahabat dan umat islam lainnya, sudah barang pasti persinggahan untuk menuju ke cina salah satunya adalah Ujung Sumatra, atau Aceh. Untuk itu islam secara tidak langsung juga sudah mulai masuk di aceh.
Keempat : Hikayat dari Para Ulama dan Wali
salah satu bukti bahwa hadist tersebut betul ada adalah melalui cerita atau hikayat para ulama dan wali-wali Allah SWT. Kita tentunya wajib mempercayai hikayat ini karena memang pada hakikatnya melawan ulama dan para wali adalah perbuatan dosa, karena mereka adalah hamba-hamab Allah yang dijaga oleh-Nya. Salah satu cerita yang pernah penulis dengar adalah sebuah hikayat yang pernah diceritakan oleh seorang wali Allah yang tidak boleh disebutkan namanya. Beliau adalah salah seorang wali Aceh. Kisah ini saya dapatkan dari cerita seorang anak alm. Abuya Jamaluddin Waly, bahwa beliau pernah berjumpa dengan wali Allah ini, Wali Allah tersebut bercerita :
"Bahwa dahulu Nabi SAW saat berjalan menuju ke Baitul Maqdis dalam Isra Miraj-nya, beliau mengendarai Buraq ditemani oleh Malaikat Jibril untuk keliling dunia (Dalam sejarah hanya dijelaskan bahwa nabi langsung menuju ke Baitul Maqdis). Saat nabi keliling dunia tersebut itulah nabi melihat ada satu cahaya yang terus terbit dari salah satu wilayah di dunia, cahaya ini timbul dari ujung Sumatra, yaitu Aceh. Saat itulah nabi meminta turun kepada jibril untuk melihat keindahan cahaya tersebut, dan nabi pun turun kesana untuk melihat. Lalu rasulullah bertanya kepada jibril "Mengapakah tempat ini bercahaya, wahai Jibril ?", Jibril menjawab " Ini adalah wilayah islam yang suatu saaat nanti Allah akan memunculkan dari kalangan umatmu banyak para wali Allah dan Ulama-ulama besar". lalu nabi pun berangkat kembali untuk menuju ke baitul maqdis. Beliau tidak pernah turun ketempat lain saat perjalanan ini terjadi kecuali hanyalah tempat bercahaya tersebut. "Jika engkau (untuk Amri Jamaluddin Waly, yang mempunyai cerita ini) ingin mengetahui bukti secajarah ini maka ziarahlah ke 8 wali di seluruh aceh maka engkau pasti akan menemukannya".
Inilah cerita yang penulis dapatkan. Karena kejadian inilah yang menjadi asbabul wurud (sebab hadirnya) haidts nabi mengenai Aceh.
Kisah ini diakui oleh beberapa ulama Aceh, termasuk Abuya Prof. Dr. Tgk. H. Muhibbuddin Waly, Abu Muhammad Amin Blang Blahdeh, Abu Ibrahim Woyla, dan beberapa pengakuan ulama dan wali Allah lainnya.
Kelima : Banyak Kerabat Nabi SAW di Aceh
Abu Ibrahim WoylaIni adalah bukti selanjutnya, bahwa di aceh sejak masa kerajaan dulu kala hingga masih banyak keturunan dan kerabat saudara dari Rasulullah SAW. Salah satunya adalah Abuya Muda Waly, banyak riwayat mengatakan bahwa silsilah beliau berasal dari Sahabat Abu Bakar As-Siddiq. Hal ini pernah diungkapkan oleh seorang wali Allah Aceh yang juga murid Abuya Muda Waly, beliau adala Abu Ibrahim Woyla. Beliau (Abu Ibrahim) pernah bercertia saat beliau berkunjung ke Meulaboh untuk melihat salah satu qur'an ajaib disana, saat itu beliau bertutur bahwa "Jangan pernah bermain-main dengan Abu Muda Waly karena beliau adalah keturunan Abu Bakar As-Shiddiq". bukti bahwa Abu Muda Waly adalah kerabat nabi bukan hanya berasala dari riwayat Abu Ibrahim Woyla namun para ulama dan wali Allah lainnya juga mengakuinya, termasuk Wali Allah Abu Qasim Kajhu sependapat dengan ini. Dan juga wali Allah yang tidak disebutkan namanya diatas tadi, beliau juga menyebutkan hal yang sama.
Abuya Muda Waly Menurut penelitian pakar sejarah dan ahli nasab di Aceh, ahlul bayt atau keturunan Nabi saw angkatan pertama yang tiba di Asia Tenggara, tepatnya di Aceh-Sumatra adalah Abdullah bin Hasan Mutsanna bin Hasan bin Ali atau cicit Nabi Muhammad saw. Beliau hijrah ke kepulauan Nusantara ini setelah singgah dan menetap di pelabuhan Chambia (Kambei) India untuk mengembangkan misi perjuangan keluarga Rasulullah saw. Sejarah tidak mencatat, apakah beliau meninggal di wilayah ini atau kembali ke tanah Arab.
Nama Abdullah disebut dalam ikhtisar Radja Jeumpa oleh Ibrahim Abduh yang disadurnya dari Hikayat Radja Jeumpa. Tersebutlah sebelum kedatangan Islam di daerah Jeumpa sudah berdiri salah satu Kerajaan Hindu Purba Aceh yang dipimpin turun temurun oleh seorang Meurah. Tibalah seorang saudagar muslim keturunan Arab bernama Abdullah di sana pada awal abad ke 8 Masehi. Selanjutnya Abdullah tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima Islam karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan dan sangat ramah. Dia dinikahkan dengan putri Raja bernama Ratna Kumala. Akhirnya Abdullah dinobatkan menjadi Raja menggantikan bapak mertuanya. Dan masih banyak lagi.
Keenam : Persahabatan antara Aceh dan Arab
Semenjak tersebarnya islam di aceh yang dimulai pada abad ke-7 hingga akhir masa kerajaan pada tahun 1880-an, hubungan aceh dan arab sangatlah erat. Tidak hanya sisi ekonomi namun dalam hal agama jugalah menjadi patokan penting untuk saling berkomunikasi dan meminta pendapat antar kedua negara tersebut. Hal ini dapat dibuktikan di salah satu wilayah masjidil haram terdapat harta tanah waqaf yang disumbagkan oleh aceh untuk perluasan masjidil haram. Salah satunya terletak di daerah Qusyasyiah bertepatan dengan bab al-Fath Masjidil Haram, Lokasi ini berada seperti hotel Ajyad (Funduk Ajyad) bertingkat 25 dan Menara Ajyad (Burj Ajyad) bertingkat 28 yang berjarak sekitar 500-600 meter dari Masjidil Haram. Kedua hotel tersebut mampu menampung lebih dari 7.000 jamaah yang dilengkapi dengan infrastruktur lengkap. Wakaf tersebut semakin bertambah dengan pembelian beberapa aset lagi. Hasil sumbangan, sedekah, dan infak hujjaj Aceh diwakafkan dalam bentuk tanah dan rumah di seputar Masjidil Haram tersebut yang dikoordinir oleh Habib Bugak sekitar tahun 1224 H/ 1809 M.
Sebagian berpendapat bahwa nama asli Habib Bugak adalah Habib Abdurrahman bin Alwi al-Habsyi dari Monklayu. Sebagian lagi menyebut ia berasal dari daerah Bugak di Aceh Timur, Bireuen atau Pidie. Sulitnya informasi tersebut diakibatkan tidak ada bukti tertulis secara komprehensif. Melalui lembaran sarakata (surat Sultan) Aceh yang saya peroleh, tertera stempel kesultanan yang menunjukkan originalitasnya. Disebutkan bahwa ia bernama Sayyid ‘Abdurrahman bin ‘Alwi Peusangan, yang diberi kuasa pengelolaan tanah di wilayah Mutiara di sebelah barat Blang Pancang hingga Krueng Air sebelah timur dan hingga perbatasan Krueng Geukueh.
Ketujuh : Keturunan Bangsa Aceh di Arab Saudi
Hubungan yang cukup erat antara Arab dan Aceh dibuktikan juga dengan terdapatnya garis keturunan bangsa aceh yang sebahagiannya adalah keturunan nabi di sekitaran masjidil arab dan dibeberapa wilayah arab lainnya. Salah satu contohnya seperti Syeik Abdul Ghani Asyi yang pernah menjabat sebagai ketua Bulan Sabit Merah Timur Tengah, kemudian Alm. Dr. Jalal Asyi, mantan ketua mentri kesehatan Arab Saudi, DR. Ahmad Asyi, ia pernah menjabat sebagai Mentri Haji dan Waqaf dan beberapa orang lainnya. yang disebutkan ini adalah sebahagiannya saja dan hanya orang-orang yang berada di pemerintahan, namun keturunan lainnya masih banyak terdapat di beberapa wilayah timur tengah sana yang tidak kita ketahui.
Diriwayatkan bahwa pada tahun 1672 M, Syarif Barakat penguasa Mekkah pada akhir abad ke 17 mengirim duta besarnya ke timur. Mencari sumbangan untuk pemeliharaan Masjidil Haram. Karena kondisi Arab pada saat itu masih dalam keadaan miskin. Kedatangan mareka ke Aceh setelah Raja Moghol, Aurangzeb (1658-1707) tidak mampu memenuhi keinginan Syarif Barakat itu. Dia saat itu belum sanggup memberi sumbangan seperti biasanya ke Mesjidil Haram. Setelah empat tahun rombongan Mekkah ini terkatung katung di Delhi India. Atas nasehat pembesar di sana, rombongan ini berangkat ke Aceh dan tiba di Aceh pada tahun 1092 H (1681M). Sampai di Aceh, duta besar Mekkah ini disambut dan dilayani dengan baik dan hormat oleh Sri Ratu Zakiatuddin Inayatsyah (1678-1688 M). Di luar dugaan, kedatangan utusan syarif Mekkah ini menyulut semangat kelompok wujudiyah yang anti pemerintahan perempuan. Namun, karena sosok Sultanah Zakiatuddin yang ‘alim dan mampu berbahasa Arab dengan lancar. Bahkan menurut sejarah, dia berbicara dengan para tamu ini dengan menggunakan tabir dari sutra Dewangga (Jamil: 1968).
Utusan Arab sangat gembira diterima oleh Sri Ratu Zakiatuddin, karena mareka tidak mendapat pelayanan serupa ketika di New Delhi, India. Bahkan empat tahun mareka di India, tidak dapat bertemu Aurangzeb. Ketika mereka pulang ke Mekkah, Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, memberi mareka tanda mata untuk rombongan dan Syarif Mekkah juga sumbangan untuk Mesjidil Haram dan dan Mesjidil Nabawi di Madinah terdiri dari: tiga kinthar mas murni, tiga rathal kamfer, kayu cendana dan civet (jeuebeuet musang), tiga gulyun (alat penghisap tembakau) dari emas, dua lampu kaki (panyot-dong) dari emas, lima lampu gantung dari emas untuk Masjidil Haram, lampu kaki dan kandil dari emas untuk Masjid Nabawi.
Pada tahun 1094 (1683 M) mareka kembali ke Mekkah dan sampai di Mekkah pada bulan Sya’ban 1094 H (September 1683 M). Dua orang bersaudara dari rombongan duta besar Mekkah ini yakni Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim, tetap menetap di Aceh atas permintaan para pembesar negeri Aceh yang dalam anti raja perempuan (Jamil: 1968). Mereka dibujuk untuk tetap tinggal di Aceh sebagai orang terhormat dan memberi pelajaran agama dan salah satu dari mereka, kawin dengan Kamalat Syah, adik Zakiatuddin Syah. Lima tahun kemudian setelah duta besar Mekkah kembali ke Hijaz dengan meninggalkan Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim di Aceh, Sultanah Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah wafat tepat pada hari Ahad 8 Zulhijjah 1098H (3 Oktober 1688 M). Pemerintahan Aceh digantikan oleh adiknya yaitu Seri Ratu Kamalatsyah yang bergelar juga Putroe Punti. Dia diangkat menjadi Ratu pemerintahan kerajaan Aceh atas saran Syeikh Abdurrauf Al Fansury yang bertindak pada saat itu sebagai Waliyul-Mulki (Wali para Raja).
Baru setelah meninggalnya Syeikh Abdurrauf pada malam senin 23 Syawal 1106 H (1695M), konflik mengenai kedudukan pemerintahan Aceh dibawah pemerintahan ratu yang telah berlangsung 54 tahun sejak Safiatuddin Syah(1641-1675M), terguncang kembali. Hal ini dipicu oleh fatwa dari Qadhi Mekkah tiba. Menurut sejarah, “fatwa import” ini tiba dengan “jasa baik” dari golongan oposisi ratu. Lalu pemerintah Aceh, diserahkan kepada penguasa yang berdarah Arab, yaitu salah satu dua utusan Syarif dari Mekkah, yakni suami Ratu Kemalatsyah, Syarif Hasyim menjadi raja pada hari Rabu 20 Rabi`ul Akhir 1109 H (1699M). Menurut sejarah, Ratu tersebut dimakzulkan akibat dari “fatwa import” tersebut. Lalu kerajaan Aceh memiliki seorang pemimpin yang bergelar Sultan Jamalul Alam Syarif Hasyim Jamalullail (1110-1113 H/1699-1702M). dengan berkuasanya Syarif Hasyim awal dari dinasti Arab menguasai Aceh sampai dengan tahun 1728 M. Inilah bukti sejarah bahwa kekuasaan para Ratu di Aceh yang telah berlangsung 59 tahun hilang setelah adanya campur tangan pihak Mekkah, paska para ratu ini menyumbang emas ke sana. Aceh yang dipimpin oleh perempuan selama 59 tahun bisa jadi bukti bagaimana sebenarnya tingkatemansipasi perempuan Aceh saat itu (Azyumardi Azra, 1999).
Terkait dengan sumbangan emas yang diberikan oleh Ratu kepada rombongan dari Mekkah, ternyata menjadi perbincangan dan perdebatan di Mekkah. Disebutkan bahwa sejarah ini tercatat dalam sejarah Mekkah dimana disebutkan bahwa emas dan kiriman Sultanah Aceh tiba di Mekkah di bulan Syakban 1094 H/1683 M dan pada saat itu Syarif Barakat telah meninggal. Pemerintahan Mekkah digantikan oleh anaknya Syarif Sa’id Barakat (1682-1684 M).
Snouck Hurgronje, menuturkan “Pengiriman Seorang Duta Mekkah ke Aceh Pada Tahun 1683” sempat kagum terhadap kehebatan Aceh masa lalu dan dicatat dalam bukunya, dimana sewaktu dia tiba di Mekkah pada tahun 1883. Karena Kedermawaan Bangsa dan Kerajaan Aceh masa itu, Masyarakat Mekkahmenyebut Aceh Sebagai "Serambi Mekkah" di sana. Ternyata sumbangan Kerajaan Aceh 200 tahun yang lalu masih selalu hangat dibicarakan disana. Menurutnya berdasarkan catatan sejarah Mekkah yang dipelajarinya barang barang hadiah itu sempat disimpan lama di rumah Syarif Muhammad Al Harits sebelum dibagikan kepada para Syarif yang berhak atas tiga perempat dari hadiah dan sedekah diberikan kepada kaum fakir miskin sedangkan sisanya diserahkan kepada Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Begitu juga tradisi wakaf orang Aceh di tanah Arab sebagai contoh tradisi wakaf umum, ialah wakaf habib Bugak Asyi yang datang ke hadapan Hakim Mahkmah Syariyah Mekkah pada tanggal 18 Rabiul Akhir tahun 1224 H. Di depan hakim dia menyatakan keinginannya untuk mewakafkan sepetak tanah dengan sebuah rumah dua tingkat di atasnya dengan syarat; rumah tersebut dijadikan tempat tinggal jemaah haji asal Aceh yang datang ke Mekkah untuk menunaikan haji dan juga untuk tempat tinggal orang asal Aceh yang menetap di Mekkah. Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Mekkah untuk naik haji maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal para pelajar (santri, mahasiswa) Jawi (nusantara) yang belajar di Mekkah. Sekiranya karena sesuatu sebab mahasiswa dari Nusantara pun tidak ada lagi yang belajar di Mekkah maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa Mekkah yang belajar di Masjid Haram. Sekiranya mereka ini pun tidak ada juga maka wakaf ini diserahkan kepada Imam Masjid Haram untuk membiayai kebutuhan Masjid Haram.
Menurut sejarah, sebenarnya bukan hanya wakaf habib Bugak yang ada di Mekkah, yang sekarang hasilnya sudah dapat dinikmati oleh para jamaaah haji dari Aceh tiap tahunnya lebih kurang 2000 rial per jamaah. Peninggalan Aceh di Mekkah bukan hanya sumbangan emas pada masa pemerintahan ratu ini juga harta harta wakaf yang masih wujud sampai saat ini seperti :
Wakaf Syeikh Habib Bugak Al Asyi',
Wakaf Syeikh Muhammad Saleh Asyi dan isterinya Syaikhah Asiah (sertifikat No. 324) di Qassasyiah,
Wakaf Sulaiman bin Abdullah Asyi di Suqullail (Pasar Seng),
Wakaf Muhammad Abid Asyi,
Wakaf Abdul Aziz bin Marzuki Asyi,
Wakaf Datuk Muhammad Abid Panyang Asyi di Mina,
Wakaf Aceh di jalan Suq Al Arab di Mina,
Wakaf Muhammad Saleh Asyi di Jumrah ula di Mina,
Rumah Wakaf di kawasan Baladi di Jeddah,
Rumah Wakaf di Taif,
Rumah Wakaf di kawasan Hayyi al-Hijrah Mekkah.
Rumah Wakaf di kawasan Hayyi Al-Raudhah, Mekkah,
Rumah Wakaf di kawasan Al Aziziyah, Mekkah.
Wakaf Aceh di Suqullail, Zugag Al Jabal, dikawasan Gazzah, yang belum diketahui pewakafnya.
Rumah wakaf Syech Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan) di Syamiah Mekkah,
Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga) di Syamiah, Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi di Syamiah dan Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi di Syamiah.
Inilah bukti bagaimana generous antara ibadah dan amal shaleh orang Aceh di Mekkah.Mereka lebih suka mewakafkan harta mereka, ketimbang dinikmati oleh keluarga mereka sendiri. Namun, melihat pengalaman Wakaf Habib Bugak, agaknya rakyat Aceh sudah bisa menikmati hasilnya sekarang.
Fenomena dan spirit ini memang masih sulit kita jumpai pada orang Aceh saat ini, karena tradisi wakaf tanah tidak lagi dominan sekali. Karena itu, saya menganggap bahwa tradisi leluhur orang Aceh yang banyak mewakafkan tanah di Arab Saudi perlu dijadikan sebagai contoh tauladan yang amat tinggi maknanya. Hal ini juga dipicu oleh kejujuran pengelolalaan wakaf di negeri ini, dimana semua harta wakaf masih tercatat rapi di Mahkamah Syariah Saudi Arabia.
Sebagai bukti bagaimana kejujuran pengelolaan wakaf di Arab Saudi, Pada tahun 2008 Mesjidil haram diperluas lagi kekawasan Syamiah dan Pasar Seng. Akibatnya ada 5 persil tanah wakaf orang Aceh terkena penggusuran. Tanah wakaf tersebut adalah kepunyaan Sulaiman bin Abdullah Asyi, Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan), Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga), Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi dan Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi. Di Mekkah juga penulis sempat bertemu dengan Saidah Taliah Mahmud Abdul Ghani Asyi serta Sayyid Husain seorang pengacara terkenal di Mekkah untuk mengurus pergantian tanah wakaf yang bersetifikat no 300 yang terletak di daerah Syamiah yang terkena pergusuran guna perluasan halaman utara Mesjidil haram Mekkah al Mukarramah yang terdaftar petak persil penggusuran no 608. Yang diwakafkan oleh Syech Abdurrahim Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan) dan adiknya Syech Abdussalam Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga).
Memang pada asalnya 75 persen tanah di sekitar Mesjidil Haram adalah tanah wakaf apakah itu wakaf khusus atau wakaf umum. Dan sebagiannya ada milik orang orang Aceh dulu dan ini bagian dari kejayaan Aceh yang pernah masuk dalam 5 besar negeri Islam di dunia bersama Turki, Morroko, Iran, Mughal India dan Aceh Darussalam di Asia tenggara. Menurut peraturan pemerintah Saudi Arabia para keluarga dan nadhir dapat menuntuk ganti rugi dengan membawa bukti kepemilikan (tentu memerlukan proses yang lama ie menelusuri siapa nadhir tanah wakaf tersebut, penunjukan pengacara dll) dan bisa menghadap pengadilan agama Mekkah menutut ganti rugi dan penggantian dikawasan lain di Mekkah sehingga tanah wakaf tersebut tidak hilang. Kalau seandainya tidak ada keluarga pewakaf lagi khusus untuk wakaf keluarga maka sesuai dengan ikrar wakaf akan beralih milik mesjidil haram atau baital mal. Inilah pelajaran atau hikmah tradisi wakaf di Mekkah yang semoga bisa menjadi contoh yang baik bagi pengelolaan wakaf di Aceh.
Mekkah Tempo Dulu
Itulah secuil catatan yang tercecer, tentang wakaf orang Aceh di Tanah Arab, walaupun generasi sekarang hanya mengenal bahwa Aceh adalah Serambi Mekkah. Namun sebenarnya ada rentetan sejarah yang menyebabkan Aceh memang pernah memberikan kontribusi penting terhadap pembinaan sejarah Islam di Timur Tengah. Karena itu, selain Aceh memproduksi Ulama, ternyata dari segi materi, rakyat Aceh juga memberikan sumbangan dan wakaf yang masih bisa ditelusuri hingga hari ini.
Karena itu, saya menduga kuat bahwa tradisi Islam memang telah dipraktikkan oleh orang Aceh saat itu, dimana “tangan di atas, lebih baik daripada tangan di bawah”. Akibatnya, kehormatan orang Aceh sangat disegani, baik oleh kawan maupun lawan. Dalam hal ini, harus diakui bahwa Snouck telah “berjasa” merekam beberapa akibat dari episode sejarah kehormatan orang Aceh.
Inilah pelajaran penting bagi peneliti sejarah Aceh, dimana selain bukti-bukti otentik, sejarah juga bisa ditulis melalui oral history (sejarah lisan). Pelajaran ini sangat penting bagi generasi sekarang untuk melacak dimana peran orang Aceh di beberapa negara, termasuk di Timur Tengah.
Inilah sekelumit hasil muhibbah saya ke Arab Saudi dan saya benar-benar terkesima dengan pengakuan identitas "Asyi" dan pola pengelolaan wakaf di Arab Saudi. Selain ini, di dalam perjalanan ini, saya sempat berpikir apakah nama baik orang Aceh di Arab Saudi bisa sederajat dengan nama baik Aceh di Indonesia dan di seluruh dunia. Yang menarik adalah hampir semua negara yang saya kunjungi, nama Aceh selalu dihormati dan dipandang sebagai bagian dari peradaban dunia.
Inilah beberapa bukti bahwa sebenarnya bahwa walaupun sanad hadist ini tidak disebutkan dari beberapa bukti diatas telah menunjukkan bahwa terdapat sisi kesinambungan bukti bahwa Rasullah pernah menyebutkan bahwa Aceh ini adalah negara islam dan tempat dimana banyak para wali dan ulama Allah muncul. Dan memang terbukti bahwa sekrang saja di aceh banyak para ulama yang muncul, mulai dari Hamzah fansuri, Syeikh Kuala hingga Abuya Muda Waly dan murid-muridnya hingga sekarang saat ini. Itulah sebabnya mengapa aceh disebut Serambi Mekkah, kerena jika ibarat Masjidil Haram, Kakbahnya adalah di Makkah maka teras menuju ke Kakbah adalah Acehnya.
Semoga tulisan ini dapat menjadi bahan referensi kita sebagai orang aceh yang selalu cinta kepada para wali Allah dan ulama-ulama-Nya juga negri tanah air ini.
Note :
Dari berbagai referensi