Kisah Menegangkan GAM Ahmad Kandang Saat Ambil Kembali Granat yang Dilemparnya

Almanak hari itu berangka 2001. Di sebuah tempat, di salah satu camp gerilya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Para kombatan mendapat perintah untuk berlindung, pasalnya Ahmad Kandang akan menguji coba granat rakitannya yang dioprek-oprek selama dua hari itu.

Kisah Ahmad Kandang Saat Uji Coba Granat GAM


Tidak ada yang menentang perintahnya. Semua taat, serius, dan tidak asal berlindung. Minimal badan-badan pemanggul senjata itu bersembunyi di balik batu-batu besar yang mudah ditemukan di sana.

Ahmad telah bersiap. Tangannya menggenggam erat sebuah granat tangan rakitan berbentuk nenas lengkap dengan safety pin-nya.

Wajah para kombatan GAM terlihat tegang. Hening. Mereka paham apa yang bakal terjadi.

Tanpa komando, setiap ujung jari telunjuk mengarah ke lubang telinga masing-masing.

Sementara mata mereka tetap menatap ke arah Ahmad. Semua gerilyawan hari itu tak ubah seperti sedang mengintai musuh di persembunyian masing-masing.

Rasa cemas tidak sanggup mengalahkan adrenalin keingintahuan mereka.

Apalagi jika dapat menyaksikan momen seru ayunan lengan Ahmad Kandang saat melempar granat rakitannya.

Prinsipnya semua yang hadir di saat itu ketakutan dan cemas. Mereka juga tidak sepakat jika Ahmad Kandang melakukan pekerjaan itu.

Semua mencemaskan risiko yang bakal diterima Komandan GAM itu.

Padahal, dia bisa saja meminta kepada Bidang Keuangan GAM untuk membeli ribuan granat asli.

Namun sangat sulit untuk mencegah keinginan seorang Ahmad Kandang yang saat itu sedang berada di puncak kepopulerannya.

Para simpatisan GAM sangat mencintai Ahmad Kandang, seperti mereka mencintai diri sendiri.

Granat rakitan Ahmad Kandang benar-benar mencemaskan mereka yang hadir pada hari itu.

Risikonya tinggi. Memandangnya saja seperti melihat ular yang siap mematuk mangsa. Namun Ahmad memiliki ambisi lain.

“Semua siap?!” Ahmad berteriak.

“Siap!!!

Lelaki berkumis itu menatap lekukan lubang tanah kedalaman 3 meter yang ada di depannya.

Ahmad hendak menyasar lubang tanah tersebut. Dia mulai mencabut safety pin granat buatannya.

“Satu…!!!”

Hitungan dimulai. Para gerilyawan memastikan tempat perlindungan aman sembari menekan lubang telinga dengan telunjuk masing-masing.

“Dua…!!!”

Semuanya memicingkan mata memandang gerakan tangan Ahmad.

“Tigaaaa…!!” Ahmad tiarap setelah melempar granat. Semua mengikuti gerakan Ahmad sambil memejamkan mata.

Hening. Tidak ada suara apapun saat itu. Semuanya bangkit ingin memastikan apa yang terjadi. Namun tidak ada yang memulai bertanya.

Ahmad pun bangkit. Dia menatap arah lekukan tanah berlubang yang menjadi target lemparan granatnya tadi.

Tidak ada tanda-tanda rusak. Tidak ada suara ledakan. Suasana kembali hening sementara lelaki itu mengernyitkan dahi.

Sebagian orang mulai mendekati Ahmad. Namun tetap membisu. Semuanya ingin tahu apa yang sedang terjadi.

Kenapa granat Ahmad tidak meledak?

Ahmad mulai mendekati lubang tanah tersebut. Dia memerhatikan sekitarnya. Kemudian Ahmad membalikkan badannya.

Dia menatap orang-orang disana. Sebuah pertanyaan mengejutkan keluar dari mulutnya.

“So yang teujeut jak cok, kubi peng 200 ribe (siapa yang berani mengambil (granat), saya berikan uang 200 ribu rupiah),” ujar Ahmad.

Semua terkejut dan berharap Ahmad membiarkan saja granat itu ada di tempatnya.

Banyak yang ingin menasehatinya, tetapi semua lidah manusia hari itu tercekat.

Semua kombatan sepakat, lebih baik mengumpulkan dana untuk membeli granat asli daripada mengambil risiko mempertaruhkan nyawa.

“Kutamah 300 ribe teuk,” kata Ahmad membujuk.

Semua diam. Tidak ada yang bersedia, dan berharap cemas tidak ada yang mau menerima tawaran tersebut.

Sejurus kemudian, Ahmad berkata, “bila demikian, biar saya saja yang akan mengambilnya.”

“Kalian berlindung lagi,” serunya.

Ahmad kemudian merangkak mendekati granat yang dilempar tadi dengan hati-hati.

Semua yang ada di sana lebih gelisah dari sebelumnya. Mereka membaca semua doa keselamatan yang mampu dihafal.

Rasa cemasnya melebihi dari seorang ibu, yang mendapat kabar balitanya sedang bermain di tepi jalan.

Ahmad, sang pemimpin yang dicintai sedang bertaruh nyawa. Kombatan yang hadir ketakutan akan mendengar suara ledakan. Berbagai bayangan buruk pun berseliweran di imaji.

Tiba-tiba Ahmad muncul dari arah lubang dengan menggenggam granat. “Ka ku tupat, ka ku tupat,” kata Ahmad berulang kali.

Ahmad mengoreksi rancangan granat tangan rakitannya. Dia berhasil. Granat buatannya meledak.

Semua kegirangan, berpelukan dan tos. Selanjutnya, granat made in Ahmad Kandang beredar di tangan para kombatan GAM di seluruh Aceh.

Artikel ini dilansir dari portalsatu.com dengan judul Granat Made In Ahmad Kandang