Kisah Asal Mula Pulau Rubiah
Rubiah adalah satu nama orang yang diambil dari nama Siti Rubiah yang ditabalkan menjadi sebuah nama di Kelurahan Iboih Kecamatan Sukakarya Kota Sabang. Siti Rubiah adalah anak dari Tengku Mustafa dan bersuamikan Tengku Ibrahim yang digelar juga Tengku Iboih yang berasal dari Iboih Pidie.
Pada masa Sultanah Ratu Syafiatudin, Tengku Ibrahim adalah salah seorang ulama dan menantu dari Tengku Mustafa yang ada di Iboih Pidie.
Tengku Ibrahim adalah salah seorang ulama yang setuju bahwasanya seorang wanita Ratu Syafiatudin itu menjadi Pimpinan Kerajaan pada masa itu, sehingga dianya mengasingkan diri kesebuah Pulau yang disebut Pulau WE.
Setelah menetap beberapa saat di Pulau WE dan mengadakan aktifitas sebagai guru ngaji dan lain-lainnya dan tak berapa lama sang istri yang bernama Siti Rubiah menyusul dan menetap di Pulau WE.
Setelah beberapa tahun Tengku Ibrahim dan Siti Rubiah menetap di Pulau WE , suatu ketika terjadilah selisih paham antara keduanya yang disebabkan karma ketika Siti Rubiah datang ke Pulau WE , dia datang bersama keponakannya dan membawa seekor anjing.
Menurut Tengku Ibrahim memelihara anjing adalah haram dalam Islam, sedangkan Siti Rubiah menganggap anjing itu penjaga dari binatang buas apabila sewaktu-waktu diganggu oleh binatang buas dan mengikut sertakan seoarang laki-laki bersama Siti Rubiah yang bukan muhrimnya itu dilarang dalam agama sehingga terjadilah konflik antara keduanya serta huru hara yang tidak dapat dihindari sehingga terjadilah pertengkaran hebat antara keduanya.
Dari hasil musyawarah dari kedua insane keduanya yang difasilitasi oleh masyarakat sekitarnya karena sudah berlainan faham maka harta kekayaan dibagi dua dengan catatan binatang ternak jadi milik Siti Rubiah sedangkan tumbuh-tumbuhan atau tempat tinggal dibagi menjadi dua lokasi, lokasi pertama di Iboih jatuh untuk Tengku Ibrahim sedangkan yang dipulau sebelahnya menjadi milik Siti Rubiah.
Pada saat klimaks pembagian harta binatang ternak maka kerbau, kambing, ayam, itik dan dan lainnya ikut Siti Rubiah yang bersebelahan dengan Iboih, dengan amarahnya Tengku Ibrahim menyumpah binatang-binatang ternak itu khususnya kerbau yang ikut Siti Rubiah kepulau sebelah dikutuk menjadi batu yang sekarang ini namanya Batu Meuron-Ron
Maka menetapkan Siti Rubiah dipulau tersebut dengan binatang yang selamat dan santri-santri yang ada disekitarnya, untuk kelompok pengajian menuntut ilmu agama dan berawal dari situlah nama Siti Rubiah itu ditabalkan menjadi nama Pulau Rubiah dan ianya adalah salah seorang aulia keramat 44 masih dipercaya adanya sampai sekarang.
Pada masa Sultanah Ratu Syafiatudin, Tengku Ibrahim adalah salah seorang ulama dan menantu dari Tengku Mustafa yang ada di Iboih Pidie.
Tengku Ibrahim adalah salah seorang ulama yang setuju bahwasanya seorang wanita Ratu Syafiatudin itu menjadi Pimpinan Kerajaan pada masa itu, sehingga dianya mengasingkan diri kesebuah Pulau yang disebut Pulau WE.
Setelah menetap beberapa saat di Pulau WE dan mengadakan aktifitas sebagai guru ngaji dan lain-lainnya dan tak berapa lama sang istri yang bernama Siti Rubiah menyusul dan menetap di Pulau WE.
Setelah beberapa tahun Tengku Ibrahim dan Siti Rubiah menetap di Pulau WE , suatu ketika terjadilah selisih paham antara keduanya yang disebabkan karma ketika Siti Rubiah datang ke Pulau WE , dia datang bersama keponakannya dan membawa seekor anjing.
Menurut Tengku Ibrahim memelihara anjing adalah haram dalam Islam, sedangkan Siti Rubiah menganggap anjing itu penjaga dari binatang buas apabila sewaktu-waktu diganggu oleh binatang buas dan mengikut sertakan seoarang laki-laki bersama Siti Rubiah yang bukan muhrimnya itu dilarang dalam agama sehingga terjadilah konflik antara keduanya serta huru hara yang tidak dapat dihindari sehingga terjadilah pertengkaran hebat antara keduanya.
Dari hasil musyawarah dari kedua insane keduanya yang difasilitasi oleh masyarakat sekitarnya karena sudah berlainan faham maka harta kekayaan dibagi dua dengan catatan binatang ternak jadi milik Siti Rubiah sedangkan tumbuh-tumbuhan atau tempat tinggal dibagi menjadi dua lokasi, lokasi pertama di Iboih jatuh untuk Tengku Ibrahim sedangkan yang dipulau sebelahnya menjadi milik Siti Rubiah.
Pada saat klimaks pembagian harta binatang ternak maka kerbau, kambing, ayam, itik dan dan lainnya ikut Siti Rubiah yang bersebelahan dengan Iboih, dengan amarahnya Tengku Ibrahim menyumpah binatang-binatang ternak itu khususnya kerbau yang ikut Siti Rubiah kepulau sebelah dikutuk menjadi batu yang sekarang ini namanya Batu Meuron-Ron
Maka menetapkan Siti Rubiah dipulau tersebut dengan binatang yang selamat dan santri-santri yang ada disekitarnya, untuk kelompok pengajian menuntut ilmu agama dan berawal dari situlah nama Siti Rubiah itu ditabalkan menjadi nama Pulau Rubiah dan ianya adalah salah seorang aulia keramat 44 masih dipercaya adanya sampai sekarang.